Praktikum Ukur Tanah I: Kisah Jalon dan Keteguhan Hati
Hai. Seperti biasa, saya bingung dalam mengawali suatu
wacana, sodara-sodara… Jadi, langsung ke ke titik utamanya saja, ya. Jadi saya
telah melakukan praktik Ukur Tanah, sodara. Emang itu ngapain? Kurang kerjaan?
Iya. Banget. Eh ngga ding. Emang saya sekarang di Jurusan Teknik Geodesi
Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, sodara!
Eh Geodesi apaan? Itu temennya lemper. Beh, gatau Geodesi?
Ga g4oL! Tapi postingan selengkapnya besok-besok saya posting. Kapan-kapan.
Padahal harusnya sebelum ini, ya. Lupakan.
Praktikum Ukur Tanah I adalah praktikum pertama di semester
pertama. Iya, saya maba unyunyu gicuu. Padahal postingan-postingan tentang
kuccel baru perkenalan juga. Saya random. Lanjut. Praktikum yang Cuma satu ini
Cuma gitu doing. Tapi ribet.
Minggu pertama kuliah, jadwalnya udah ada tapi kosong.
Padahal saya udah bela-belain bangun pagi karena jadwalnya jam 7. Pada akhirnya
Cuma bergelimpungan di depan lab terus suruh pulang. Pulang.
Eeeh ternyata ada tugas. Simpel, suruh mendeskripsikan alat
batu ukur tanah. Itu katanya nyarinya perkelompok. Kelas kami pun membagi diri
(?) secara acak menjadi 9 kelompok agar anggota tiap kelompok sama dengan lima.
Ini untung-untungan. Untungnya saya kebagian kelompok sama Kevin, Abri, Winda,
dan Nana. FYI, Winda itu cowok, dalogabolehprotes. Sangat beruntung sekelompok
sama Kevin, kerjanya cepet, serius. Jadi bisa ngimbangin 4 orang ga jelas di
sekitarnya. Apuse Qaqa.
Tugas pertama, sukses. Meski di tugas itu ada yang saya
sesalkan, sodara. Iya, gimana enggak, kan udah capek-capek gambar teodolit
dengan sepenuh hati, ya, eh ternyata teodolit nggak termasuk di tugas dan…
dihapus. Perlu diulang? Nggausah deh, nyesek kalo ngingetnya. Untung saya telah
mengabadikannya dahulu sebelum musnah. Dua menit setelah bersih itu, KPFT mati
lampu. Ya, artinya KPFT pun tak rela bila saya menghapus itu, sodara. Ini
lebay.
Dalam perkembangannya, ternyata ada yang tidak puas dengan
pembagian kelompok kali ini. Dia bilang, dari 5 orang, yang kerja Cuma tiga.
Sebut saja namanya Ali. Karena itu memang namanya. Ternyata dia mengerikan.
Saya kira dia muka skuriti hati helokiti. Ternyata? Winidepuh. Apuz qaqa. Dari
situ, saya mulai berkaca, dari kemarin kayaknya di kelompok saya Kevin yang handle
semua. And he’s not worried about that. Adanya malah saya yang ngga enak sama
dia karena berasa dia doing yang kerja, sisanya nyalin.
Tapi pada akhirnya, jadilah shuffle ulang kelompok. Tetap dibagi
secara acak, namun sekarang dengan memerhatikan pembagian jenis kelamin (?).
Ya, karena masalah lain di sini memang pembagian tiap pribadi di kelompok yng
kurang seimbang antar cewe cowo nya.
Shuffling. Hasil akhirnya saya samaSidik, Hanif, Ridlo, dan
Arsha. Arsha. Arsha, sodara. Arsha! Kok diulang? Ya… gapapasih :siul. Saya langsung lari ke
belakang kelas dan nonjokkin tembok. Becanda.
Pada hari itu emang Arsha berhalangan hadir. Jadi, dia
dimasukin ke kelompok saya yang cewenya bari satu. Lengobnya, saya butuh waktu
tujuh dtik buat menyadari itu semua. Seandainya, kalo boleh, Arsha ada disitu,
pasti saya ngga sekelompok sama dia. Kemungkinan besar saya sekelompok lagi
sama Kevin sama Nana yang mereka sekelompok lagi. Sambil mengatur nafas,
fantasi saya meliar, tiba-tiba Ika mengusulkan tukeran kelompok sama saya. Tapi
ngimpi. Saya juga harus menerima, dan bersikap fair. Itu udah jadi kesepakatan.
Saya nggak boleh egois. Saya mau jadi geodet baik. Saya jadi nggak sabar nunggu
hari praktikum.
H-2 Praktikum, si itu bikin masalah yang bikin dia
dipergunjingkan Fanny cs, aliassaya, Amal,, Raudah, dan Fanny sendiri.
Terserah. Hari-H-nya, saya tekanan batin parah sampai saya sakit perut semenjak
briefing. Mana si Nana peluk-peluk dan bilang dia pengen sekelompok lagi sama
saya. Saya? Iya pengen pake banget juga, lah, sodara. Tapi, saya masih pengen
jadi anak baik.
Cus praktikum. Nentuin tempat aja ternyata ribet, sodara.
Awal kami di parkiran arsi. Terus pindah gara-gara tempatnya ada yang becek.
Tentu Arsha yang minta pindah. Ke vokasi mesin, nggak datar. Cus ke depan sipil
tapi jarak minimal tidak memenuhi. Final, di tempat awal. Kalo pake emot itu
dash, underscore dua lembar, dash. Sambil nyongkel tanah pake anjir. Kalimat
barusan beneran saya lakuin.
Dan ternyata, ukur tanah yang Cuma gitu doing itu lama dan
ribet dan melelahkan dan mengasyikan, sodara! Ini cobaan. Eh. Selesai melakukan
pengukuran, diitung, dan hasilnya nggak memenuhi ToR. Pokoknya itu intinya
hasilnya gagal. Artinya pengukuran harus diulang. Cukup nyesek, sih.
Yaudah, lah, lagian masih newbie. Masih baru ngukur sekali.
Masih ada waktu, kok. Lagian mending gagal sekarang daripada gagal pas dapet
proyek besar nanti. Iya, kan?
Karena tuh pengukuran harus diulang, kami takut waktu 2
minggu yang diberikan itu ngga cukup. Jadi besoknya eh pas kami semua ada waktu
luang, kami gunain buat ngulang pengukuran plus melakukan pengukuran-pengukuran
yang lain. Iya, tugasnya banyak.
Cus. Waktu itu yang kekumpul baru 3 darilima. Arsha ada
kuliah Pancasila, Ridlo… lah pokoknya belum dateng tuh anak tau dah kemana. Dengan
anak 3 itu 15 menit selese ngulang satu plus mikir pengukuran yang pake rumus,
tapi yang pake rumus itu gagal ehehehe. Pengukuran ulang itu sukses, sodara.
Ketelitiannya memenuhi untuk sejumput pemula. Hore. Tempat kedua, si Ridlo udah
datang dengan innocent. Eh pas di sini emang bukan Cuma kami yang ngukur, ada
senior yang pake alat-alat keren. Mentang-mentang gitu apaya jadi masmasnya
nutupin pelurusan yang lagi saya lakukan. Pengen negur tapi takut, kalo ga
ditegur kami yang kasian. Akhirnya bête. Saya Cuma bilang ya. Tapi kerennya,
ketelitian di situ super. Pengukuran kami yang paling teliti. Merci, mase.
Haha.
Setelah melakuakn pengukuran sebuah bidang miring lagi,
menjelang maghrib, pulang. Masa iya mau ngukur malem-malem, jalonnya ga
keliatan kali. Lagian, ada Hanif yang engineer beneran. Ehehehe.
Saya frontal, ya? Banget. Tadisaya mau nulis apa lagi coba? ah lupa, kan.
Ohya, saya mau bikin analogi saya plus analoginya ka Ayin. Tapi unyunya dibikin post sendiri, deh. Eh, random.
0 komentar:
Posting Komentar